Powered By Blogger

Rabu, 27 Mei 2015

ARTIKEL

EKSISTENSI TOKOH DALAM KEHIDUPAN
Oleh: Abdul Hakim, S.Ag )*

Tokoh/figur adalah merupakan salah suatu pilar dalam membangun suatu keyakinan, tradisi (ceremonial atau ritual). Keberadaannya amat menentukan sah atau tidaknya aktifitas.
Dari semua agama, aliran, organisasi dan, kepercayaan yang ada di dunia peranan sang tokoh/figur merupakan power penentu yang tidak bisa dianggap remeh.

      Seperti dimaklumi bersama dalam strata sosial ada terdapat anasir yang disebut tokoh baik itu tokoh agama (toga), tokoh masyarakat (toma), tokoh pemuda dan di samping anasir lainnya. Para tokoh agama memiliki jam pengabdian dua puluh empat jam sehari semalam. Kendati terkadang masih banyak di antara mereka yang belum terkafer untuk mendapatkan insentif dari pemerintah melalui APBD ataupun APBN. Namun pengabdian mereka tetap eksis karena dilatar belakangi oleh suatu I’tiqad/ keyakinan bahwa ada yang maha Kuasa yang akan memberikan upahnya kelak.
      Tokoh agama ini sering disebut pemimpin non formal. Mereka memiliki otoritas yang tinggi dalam memberi warna kepada masyarakat pada skup internal agama/aliran/kepercayaan. Dalam satu komunitas mampu terpola perilaku baik maupun buruk jika tokoh agamanya memiliki karismatik bagi komunitas itu secara utuh. Bahkan memungkinkan nyaris suaranya menyamai “suara tuhan”.
      Ada yang unik dari keberadaan mereka yaitu masyarakat masih lebih mendengar suaranya dibandingkan dengan suara anasir lain. Hal ini dipengaruhi oleh penanaman sikap sami’na wa atho’na. ( kami mendengar dan kami taati ). Hal ini masih bisa kita lihat di beberapa wilayah belahan dunia. Jika tokoh agamanya mengatakan A maka serta-merta anggota komunitas tadi akan ikut A. Hal ini akan menjadi sangat bagus jika apa yang disuarakan itu adalah kebenaran mutlak dan kemaslahan sosial. Tapi amatlah celaka jika sebaliknya yang disuarakan tokoh itu suatu kesesatan dan kerusakan sosial. konsekuensi logisnya bukan hanya ditangung oleh tokoh sendiri dari apa yang diputuskan. Namun sang pengikut dan orang di luar merekapun akan merasakan implikasinya. Itu membuktikan bahwa pengaruh karismatik dari sang figur tokoh agama memiliki magnet yang sangat kuat.
     Kita buktikan dengan ilustrasi bahwa di suatu bangsa memiliki tokoh agama, lantas aturan yang berlaku di sana adalah eksistensi tokoh sebagai “syarat sah” dalam aktifitas tanpa kehadiran mereka (tokoh) sesuatu acara baik itu bersifat seremunial maupun ritual tidak bisa dilangsungkan bahkan bisa dipastikan acara itu bubar/batal sama sekali.
      Kini sudah saatnya kita harus lebih cerdas memilih figur, sebab jika salah pilih kita akan tersesat bahkan akan menyisakan nadam/penyesalan berkepanjangan dunia akhirat. Jika diibaratkan tokoh agama itu laksana kepala ular maka, sang kepala itulah yang akan membawa arah segenap badannya ke arah mana yang ditujunya. Artinya sikap kehati-hatian dalam memilih figur perlu didukung oleh setidaknya adanya ilmu pengetahuan ( skill/knolidge ) dalam bahasa agama disebut “Muttabi”dengan adanya sebuah pengetahuan dasar/dalil, dan adanya pertimbangan yang komperhensif dalam memilihnya.
      Dalam memilih figur hendaknya selektif sebab ia akan dijadikan barometer dan penunjuk jalan pembawa lentera kehidupan pada umat secara umum pada kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Kita disyaratkan untuk memiliki daya ittiba- ( kekuatan mengikuti seseorang figur atas adanya dasar dan kemampuan intelektual ). Bukan atas dasar daya taklidi (kekuatan mengikuti figur tanpa dasar dan tanpa pengetahuan yang jelas memadai). Artinya seseorang yang menjadi pengikut tokoh tertentu hendaknya menjadi muttabi yaitu orang yang ikut dengan mengetahui dasar pemikiran figur tersebut. Apakah yang disuarakan itu sahih atau batal.
     Menurut Imam Syaukani bahwa figur adalah merupakan salah satu sarat untuk meraih suatu ilmu. Tercermin dalam kata bijak beliau : -ingatlah hai para pemuda , tidaklah akan didapatkan ilmu itu kecuali dengan enam perkara yaitu: cerdas, tamak, sabar, alat, guru yang mursyid (figur) dan panjang waktunya.
      Melihat pentingnya peranan figur dalam prikehidupan dan dalam menentukan nasib, jadi selaku mukmin hendaklah memilih figur yang dapat membawa kebahagiaan dunia akhirat. Lihat saja untuk mendapatkan suatu ilmu hendaknya melalui guru/ figur yang mursyid (mumpuni). Jadi jangan hanya figur pandai bicara apalagi yang asal bicara. Namun yang terpenting adalah tokoh/figur yang selaras antara teori dengan aplikasi pada dirinya . Dari hal ini kita bisa katakan bahwa “To say is very easy but to do is very dificult ( bicara memang sangat mudah tapi melaksanakannya sangat sulit). Jika tokoh tidak ada atau meninggal maka amatlah sulit mencari gantinya. Karena itu upaya untuk mempersiapkan dan mencetak para tokoh itupun menjadi amat sangat penting bagi manusia.


A. Figur/Tokoh selaku pembawa palu godam

      Kehidupan duniawi perlu juga dituntut dan dipersiapkan secara matang. Karena kehidupan duniawi yang mapan memungkinkan untuk menunjang dalam berbuat banyak menuju akhirat kendati hal ini sifatnya asumsi. Tentunya didasari oleh keimanan dan ketakwaan. Peranan tokoh masyarakat/figur merupakan salah satu indikator penentu besar atau kecilnya maupun eksis atau bubarnya suatu agama/kepercayaan/organisas dan lainnya di tengah masyarakat. Selaku “penentu/ pembawa palu gadam” maka disyaratkan padanya kridibilitasnya teruji dan mumpuni jika suatu agama/kepercayaan/organisas dan sejenisnya itu mau eksis.
    Saat ini acapkali kita mendengar orang mengatakan bahwa di seantero bumi ini telah terjadi krisis multi dimensi ada krisis ekonomi, budaya, social termasuk krisis figur.  Timur tengah, Eropa digoncang badai krisis, Asia apalagi. Lalu apa jadinya kalau pemimpin yang bertahta itu dari kalangan tokoh tercela/mazmumah misalnya. Mau dibawa kemana rakyat dan bangsa/dunia ini. Namun kita harus percaya dari 5 Milyar lebih penduduk dunia pasti ada yang terbaik. Yang membanggakan kita karena masih banyaknya pabrik pencetak manusia (SDM) berkualitas seperti sekolah, institusi yang masih menjunjung tinggi nilai - nilai luhur agama dan budaya yang dipercayai sebagai suatu yang skral di atas bumi ini.
     Lihat saja sekarang di sejumlah negara sedang mendambakan pemimpin yang ideal. Bakal calonnya banyak sekali, buktinya dari bursa marbot masjid, RT sampai bursa legislatifpun diminati dengan luar biasa. Di tiap-tiap daerah tingkat dua para kandidat legislatif ratusan jumlahnya sementara kursi yang diperebutkan hanya puluhan. Belum lagi di tingkat satu dan pusat serta tingkat dunia. Merekalah pembawa palu godam yang secara harfiyah kita katakan penentu hitam putihnya negeri atau dunia ini. Betapa tidak, di tangan mereka ada anggaran, ada kebijakan (policy) yang bisa bersifat obyektif dan tidak menutup kemungkinan subyektif.
      Keberadaan figur selaku pembawa “penentu”  duniawi bisa diilustrasikan sebagai berikut : di salah satu agama yang diakui di Indonesia tentu memiliki ritual katakan saja agama Islam. Ketika sholat Jumat berlangsung sederetan tokoh tertera pada jadwal. Namun para tokoh yang dijadwalkan itu secara mendadak berhalangan tidak hadir. Jelas berbagai hal akan muncul , panitia akan sibuk mencari “peran pengganti”. Ok, kalau ditemukan penggantinya yang pas. Kalau tidak? maka, bisa dipastikan acara akan vatal bisa bubar tanpa makna. Setidaknya acara itu akan kacau dan akan meninggalkan kesan yang negatif. Ini bisa dilihat diberbagai ritual agama maupun aksi sosial dari berbagai agama/kepercayaan/organisasi dan lainnya.

B. Tokoh melahirkan peradaban

     Sudah tidak disangkal lagi bahwa para tokoh akan memberikan warna tersendiri terhadap situasi dan kondisi serta domisili walaupun membutuhkan limit waltu dan proses yang lama. Di sini bisa kita memberikan kompergensi indikator penentu antara tokoh agama dengan tokoh masyarakat. Pada tokoh agama indikator yang memberikan ia bisa untuk melahirkan peradaban baru yaitu: 1) eksistensi figur itu sendiri. 2) soliditas abiturennya atau pengikutnya. 3) doktrin yang dianutnya. 4) .finansial. 5) jangkauan informasi. 6) keamanan lokasi. 7) prosesnya lama.
     Demikian juga halnya dengan tokoh masyarakat. Item di atas juga telah dimiliki. Namun ada tambahannya yaitu, prosesnya cepat untuk tataran saat ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ambil contoh satu tokoh negara (toma) dalam 5 tahun sekali bisa kita lihat hasilnya. Berbeda dengan seorang tokoh agama, untuk mencetak seorang ahli tafsir, dai, ahli bahasa Arab , Pendeta, Pastur, Biarawan dan lainnya tidak bisa secepat itu. Dibutuhkan proses puluhan tahun.
      Jamaluddin Al Afgani seorang pembaharu Islam kebangsaan Afganistan yang terkenal dengan gerakan “Pan Islamisme”nya telah mengisyaratkan jika seseorang mau membuat peradaban baru tentunya beberapa indikator tersebut di atas menjadi acuannya serta dia harus menguasai secara totalitas eksistensi peranan media.
     Hal ini sudah dilakukan oleh berbagai golongan dan kelompok baik itu tokoh aliran, tokoh politik, dan lainnya di belahan dunia. Dengan tanpa ragu mempromosikan diri melalui media satelit yang online 24 jam ke manca negara. Dan hal ini terbukti ampuh untuk merebut hati para audiensnya/pemirsanya atau pengakses pancaran siarannya.
    Masihkah kita ingat dalam sejarah Indonesia disebutkan bahwa kerajaan Majapahit telah melahirkan peradaban yang luar biasa terutama di bidang keilmuan. Begitu juga dengan Sriwijaya yang telah memberi warna pada Nusantara di bidang perdagangan dan maritim. Rielnya kita bisa saksikan saat ini di berbagai negara. Bahwa para pemangku kekuasaan mampu membangun rezim dan peradaban yang nota bene merupakan rangkaian sejarah peradaban manusia kendati warnanya beragam.
    Akhirnya, paradigma figur ini perlu dilakukan problem solving mengingat peranan para tokoh kendati skopnya kecil sangat memberi corak yang asasi/fundamental baik itu di tataran pemerintahan/birokrasi maupun pada tataran sosial kemasyarakatan. Secara kasat mata eksistensi mereka biasa-biasa saja, tapi pada hakikatnya memiliki peran yang luar biasa. Ingatlah  kecilnya sebatang korek api mampu membakar segala-galanya manakala tersulut dan berhadapan dengan siapa pemegangnya-. Karena itu, pemangku /figur hendaknya mampu memegang amanah yang dipercayakan di pundaknya untuk dinyatakan dan direalisasikan pengejawantahannya dalam mengayomi “wong cilik”.
    Dalam hal ini ada satu kata yang perlu dimiliki oleh figur yaitu memiliki sifat uswatun/keteladanan/mumpuni dengan kata lain digugu dan ditiru (guru). Para toga/toma hendaknya sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa berjuta/milyaran pasang mata siap mengawasi dan berjuta rakyu/pendapat siap disampaikan dalam evaluasi. Kita semua sudah mafhum penonton lebih hebat dari pada pemain pada sisi mengkritisi. Kendati demikian janganlah kita lalu berpaling dan menjauh dari evaluasi penonton yang merupakan penentu besar masih bertahta ataukah menjadi azizan zholla ( jatuh hina) seseorang secara sosial. Hal ini terlepas dari taqdir mubram dan muallaq-Nya yang Mahakuasa.
     Perlu diketahui tokoh yang berakhlak baik amatlah sulit untuk medapatkannya. Sementara tokoh yang jelek (fasid) sangat cepat dan mudah untuk munculnya. Telah disitir dalam sebuah mahfuzhot – “Su ul khuluqi yu’di “- ( akhlak yang jelek mudah menjalar. Artinya, kaitannya dengan tokoh, mahfuzhot tadi ikuivalen adanya.
    Kesimpulannya sekali lagi perlu ditandaskan bahwa seorang figur hendaknya terus membangun komitmen dan konsistensi ketokohannya di dalam membina umat/ anggotanya dengan menyelaraskan antara “say dengan do”-. Sehingga apa yang dihasilkannya itu merupakan “out put” yang bisa nantinya dipakai ( out come) oleh pewarisnya di kemudian hari. Sadarlah agama mengajarkan bahwa kita semua adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawabannya nanti di akhirat. Setidaknya kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri dengan cara memimpin panca indra ke arah kebaikan. Dan mencegah diri dari kejahatan. Waspada para pemimpin  nanti di akhirat pertanyaannya amat banyak.  Semoga kita berhasil menjadi pemimpin!
Penulis adalah : Anggota PGRI Cab.Kec. Sumbawa
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar